Kamis, 21 Januari 2010

Kapan Kita Meninggal

Kapan kita meninggal? Lima puluh tahun lagi? Sewindu lagi? Bulan depan? Minggu depan? Atau… Malam ini?
Kita memang tidak pernah tahu jawabannya. Walau kematian adalah sesuatu yang sebenarnya biasa, tapi rasanya tetap menusuk bila itu berkaitan dengan orang-orang terdekat kita. Tadi siang saya baru saja membaca di Koran kampus, seorang adik kelas saya meninggal. Panggilannya Zsa Zsa. Ia tiga angkatan lebih muda dari saya. Jadi usianya kira-kira 18 tahun. Usia yang buat banyak orang, sedang manis-manisnya. Mungkin ia pun tidak pernah menyangka akan dipanggil secepat itu.
Saya terhenyak. Sungguh. Beberapa tahun yang lalu, saya sempat menjadi mentornya dalam sebuah acara penerimaan mahasiswa baru. Saya hanya ingat samar-samar. Ia masih penuh semangat, lugu, polos. Baru lulus dari SMU. Ia juga senang menulis seperti saya. Bedanya, ia pintar menggambar. Kalau tidak salah ia ingin menjadi desainer interior atau apalah. Saya lupa persisnya. Dalam malam renungan ketika itu, ia menangis bersama teman-temannya. Menangis mengingat dosa, teman-teman, orang tua… Dan ia jauh lebih muda dari saya.
Allah telah mengingatkan saya kembali. Kematian memang sering terjadi di sekitar kita. Tapi tidak banyak yang sudi membicarakannya dengan terang-terangan. Mungkin itulah salah satu sebab mengapa kita (atau setidaknya saya) tidak begitu sering mengingat mati. Padahal dalam al Quran sendiri tidak kurang dari 300 ayat yang membahas tentang kematian dan kehidupan sesudahnya.
Banyak faktor yang membuat orang takut pada kematian. Enggan karena tidak tahu persis apa yang akan dihadapi setelah mati. Mungkin juga khawatir akan keluarga yang ditinggalkan. Atau sekadar belum rela saja meninggalkan hidup yang sedang enak-enaknya.
Tapi kita pasti mati! Hidup di dunia pasti berakhir… Akan tiba saat di mana malaikat maut menjemput kita. Bisa perlahan, tak jarang pula super mendadak dan tidak terduga. Meminta nyawa yang kita kira tak akan pernah lepas. Lalu tanah ditaburkan segenggam-segenggam ke atas tubuh kita. Berat. Gelap. Tidak ada yang mendengar teriakan kita karena memang suara yang keluar tidak lagi dapat ditangkap telinga sebarang manusia.
Baru pada saat itulah kita merasakan penyesalan yang sesungguhnya… Kalau sekarang, jarang rasanya kita merasa rugi ketika waktu kita tersita oleh kegiatan tidak berguna barang sejam dua jam. Tapi ketika nyawa mulai meregang, barulah kita merasa. Berharap seandainya semua sakit itu bisa ditunda barang sekian milidetik saja… Agar kita bisa bersujud amat sungguh-sungguh, untuk pertama kali (dan mungkin terakhir) dalam hidup kita. Memohon ampun pada Allah untuk terakhir kali… Mengatakan semua cinta yang tidak sempat kita katakan, pada orang tua, kakak atau bahkan pada adik yang sering kita goda… Seandainya, seandainya, seandainya…
Saudariku… Beruntung bila ada orang yang menangisi kepergian kita. Merasa kita telah mengisi hidup mereka dengan cara yang istimewa. Lalu orang-orang itu akan merasa kehilangan. Syukur-syukur mendoakan dengan tulus.
Tapi… Percayalah, pada suatu saat mereka akan berhenti bersedih. Berhenti berduka. Memori akan diri kita mulai tergerus dari ingatan mereka. Langit juga tetap biru. Matahari sama hangatnya tak peduli yang meninggal putri raja sekalipun. Dan tinggallah kita sendiri. Sempit, gelap, berat. Hanya ditemani amal-amal kita. Mungkin selama ini kita sudah merasa punya cadangan amal. Tapi benarkan itu? Jangan-jangan yang ada hanya busuk karena amalan yang digerogoti ketidakikhlasan, kemunafikan, kesombongan… Hanya Allah yang tahu…
Bila kita menonton TV 4 jam sehari, misalnya. Berarti itu sama dengan sekitar 120 jam sebulan, atau 1440 jam setahun. Totalnya bisa mencapai 10 tahun bila kita diberi Allah usia 60 tahun. Pemborosan yang luar biasa. Mungkin sebagian kita tidak menonton TV selama itu. Tapi jangan lupa, dengan obrolan kita yang ngalor-ngidul, waktu yang habis untuk melamun, jalan-jalan tanpa arah… Jangan lupa juga bahwa tidur, makan, minum, dll itu pun menghabiskan waktu.
Pun terlalu banyak waktu yang habis untuk mendendam. Meributkan hal-hal kecil yang sebenarnya tidak perlu. Bergulat dengan emosi negatif dan lamunan kosong yang membuat kita tidak produktif, tersinggung, sakit hati. Padahal kalau diperhatikan, produktifitas seseorang bisa berkurang drastis ketika ia dikuasai emosi negatif.
Lantas kapan kita ingat pada Allah? Kalau mau jujur, bahkan ketika sujud pun seringkali kita tidak sungguh-sungguh. Kalau tidak, mana mungkin begitu seringnya kita lupa pada rakaat sholat? Astaghfirullah… Ini benar-benar peringatan untuk diri saya, terutama.
Adik kelas saya Zsa Zsa sudah pergi. Ia tidak bisa lagi bersegera menyambut adzan. Juga tidak bisa lagi menguntai doa di penghujung malam. Ia tidak bisa lagi bersua dengan orang tua yang sangat mengasihinya. Tapi kita masih di sini. Masih punya waktu, yang entah sampai kapan, untuk bertaubat. Benar-benar kembali pada Allah. Memang seringkali terasa berat untuk istiqomah. Tapi ayo kita coba… Kita harus gigih berjuang… Harus… Mudah-mudahan keteguhan kita untuk senantiasa berusaha kembali ke jalan-Nya juga dicatat sebagai amalan tersendiri.
Saudariku, titip doa ya buat Zsa Zsa. Mudah-mudahan jalannya dilapangkan Allah di sana. Semoga persaudaraan kita semua tidak hanya di dunia ini, tapi juga sampai di alam akhirat nanti… Amin.
Oleh: Ariyanti Pratiwi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar